Deretan Orang Terkaya Di Indonesia ! Perjuangannya Tidak Mudah

Pandemi covid-19 yang sedang kita alami saat ini sangat berpengaruh besar dibidang ekonomi.

Apalagi untuk sebagian besar orang-orang yang kehilangan pekerjaan atau pedagang yang tidak bisa berjualan karena pembatasan keramaian.

Dari sisi lain beberapa orang yang mempunyai kerajaan bisnis besar di Indonesia, nampak tetap kokoh dan tidak mudah terguncang oleh krisis akibat pandemi.

Bisnis yang mereka geluti dari bertahun-tahun yang lalu, membuat pemiliknya menjadi jajaran orang terkaya di Indonesia pada saat ini.

1. R. Budi & Michael Hartono

Pria kelahiran Semarang, 28 April 1940 ini merupakan anak kedua dari pendiri awal Djarum yaitu Oei Wie Gwan. Robert merupakan keturunan Tionghoa-Indonesia yang memiliki nama Toinghoa, Oei Hwie Tjhong.

Bersama kakaknya, Michael Bambang Hartono alias Oei Hwie Siang, mereka menjadikan Djarum Group hingga sebesar sekarang dan membawanya menjadi orang terkaya di Tanah Air.

Dulu, Djarum hanya sebuah bisnis rokok kretek lokal yang pabriknya pernah mengalami kebakaran hebat hingga semua asetnya habis dan bisnisnya berada diujung jurang. Musibah itu terjadi pada tahun 1963. Di tahun itu pula lah, Oei Wie Gwan, ayah Hartono meninggal.

Hartono pun memikul beban tanggungjawab atas keselamatan bisnis ini. Bersama kakaknya, Michael Bambang Hartono, mereka bahu membahu membuat perusahaan yang tadinya hampir ‘mati’ bangkit kembali.

Setelah Djarum dengan rokok kreteknya semakin melejit di pasaran, Hartono pun tak berpuas diri. Ia pun melebarkan sayap ke jagat perbankan dengan membeli saham Bank Central Asia.

Hartono telah melakukan diversifikasi bisnis dengan tujuan untuk memecah bisnisnya dalam beberapa jenis usaha agar tidak mudah bangkrut saat ada guncangan ekonomi.

Selain itu, mereka juga memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 65.000 hektare di Kalimantan Barat sejak tahun 2008, serta sejumlah properti di Indonesia. Di antaranya adalah Grand Indonesia, beberapa hotel seperti Bali Padma Hotel, Hotel Malya Bandung, dan Sekar Alliance Hotel. Keluarga Hartono juga membangun Pulogadung Trade Centre dan WTC Mangga Dua, Jakarta.

Akumulasi kekayaan Robert Budi Hartono dan Michael Hartono mencapai 38,8 Miliar USD.

2. Keluarga Widjaja

Eka Tjipta Widjaja, lahir di Quanzhou, China sebagai Oei Ek Tjhong. Dia kemudian pindah ke Indonesia bersama keluarganya. Pada 1938 di usia 15 tahun, dia membangun Sinar Mas saat tinggal di Makassar.

Bisnisnya terus berkembang. Asia Pulp and Paper (APP), misalnya, memiliki operasi manufaktur di seluruh Indonesia dan China dan mampu menjual produknya ke lebih dari 120 negara di 6 benua.

Pada tahun 1972, ia mendirikan pabrik yang memproduksi natrium bikarbonat, yang kemudian menjadi perusahaan kertas pertama Sinar Mas, Tjiwi Kimia.

Pada tahun yang sama ia berekspansi pada sektor real estate melalui Duta Pertiwi, di mana anak perusahaannya Bumi Serpong Damai sekarang menjadi salah satu perusahaan properti terbesar di Indonesia berdasarkan kapitalisasi pasar.

Eka Tjipta Widjaja pertama kali muncul dalam daftar Billionaires pada tahun 1991. Dia menjadi satu dari hanya 3 miliarder Indonesia dalam daftar pada saat itu.

Dia merupakan anggota trio yang bertahan paling lama (dua lainnya adalah Liem Sioe Liong dan William Soeryadjaya).

Ekspansi Sinar Mas selama bertahun-tahun nyatanya terputus akibat krisis keuangan Asia pada tahun 1998. Pada tahun 1999, utang bisnisnya mencapai USD 13,5 miliar, memaksanya menyerahkan Bank Internasional Indonesia kepada pemerintah.

Untuk pulih, Widjaja kemudian berekspansi ke pertambangan dan telekomunikasi. Pada tahun 2005, grup ini masuk kembali ke perbankan dengan mengakuisisi Bank Shinta dan menamainya Bank Sinarmas.

Dari Sinar Mas Group yang didirikan oleh sang ayah, Eka Tjipta Widjaja. kekayaannya mencapai 11,9 Miliar USD

3. Prajogo Pangestu

Prajogo Pangestu lahir dengan nama Phang Djoem Phen di Sambas, Kalimantan Barat, pada tahun 1944. Terlahir dari keluarga miskin mengharuskan Prajogo hanya menamatkan sekolahnya sampai tingkat menengah pertama.

Untuk mengubah nasib, Parajogo merantau ke Jakarta. Namun, dia tidak terlalu beruntung tinggal di ibu kota Indonesia karena tidak kunjung mendapatkan pekerjaan. Oleh karena itu, ia memutuskan kembali ke Kalimantan dan bekerja menjadi sopir angkutan umum.

Saat menjadi pengemudi, pada tahun 60-an, Prajogo mengenal pengusaha kayu asal Malaysia yang bernama Bong Sun On alias Burhan Uray. Pada tahun 1969 dia bergabung dengan Burhan Uray di PT Djajanti Group. Berkat kerja kerasnya, tujuh tahun kemudian Burhan memberikan jabatan General Manager (GM) Pabrik Plywood Nusantara di Gresik, Jawa Timur kepada Prajogo.

Namun, Prajogo menjadi GM di pabrik Plywood hanya setahun dan keluar untuk memulai bisnis sendiri dengan membeli CV Pacific Lumber Coy, yang ketika itu sedang mengalami kesulitan keuangan. Prajogo membayarnya dengan uang pinjaman Bank BRI dan dia lunasi hanya dalam setahun.

Dalam perjalanannya, Prajogo mengganti nama Pacific Lumber menjadi PT Barito Pacific. Kemudian bisnisnya terus meningkat hingga bekerja sama juga dengan anak-anak Presiden Soeharto dan pengusaha lainnya demi memperlebar bisnisnya. Bahkan Prajogo Pangestu menduduki peringkat ke 40 orang terkaya Indonesia.

Dengan kekayaannya yang mencapai 6 Miliar USD, Pragojo Pangestu menjadi orang terkaya ketiga di Indonesia di era pandemi 2021 ini.

4. Anthony Salim

Anthony Salim atau yang memiliki nama Tionghoa Liem Hong Sien lahir Kudus Jawa Tengah pada tanggal 15 Oktober 1949. Ia memiliki darah keturunan China dan hal tersebut sangat memotivasinya untuk mendirikan usaha utamanya di bidang perdagangan layaknya keluarga besarnya.

Sedari kecil, Anthony sudah hidup berkecukupan karena Ayahnya yakni Sudono sudah merintis perusahaan besar bernama Salim Group. Hal tersebut kini sudah sangat terkenal di Indonesia dan bahkan hingga ke Luar Negeri di bawah komando pimpinan Anthony secara langsung.

Adapun, karir bisnis Anthony Salim dimulai ketika ia diminta sang ayah untuk mengambil kendali sebagian dari anak perusahaan Salim Group. Pada saat itu usianya masih terbilang muda dan minim akan pengalaman. Akan tetapi, berkat kegigihan serta keinginannya belajar, kesuksesan pun mudah diraihnya.

Diluar kesuksesannya tersebut, Anthony juga pernah mengalami kerugian besar pada saat krisis moneter di tahun 1998. Pada saat itu, Salim Group mempunyai hutang hingga 55 miliar rupiah dan hampir bangkrut. Walaupun begitu, ia masih bisa bangkit kembali dan dapat bertahan hingga saat ini.

Grup Salim yang dipimpinnya merupakan sumber kekayaan Anthoni Salim yang berjumlah 5,9 Miliar USD.

5. Sri Prakash Lohia

Sri Prakash Lohia lahir pada tanggal 11 Agustus 1952 di India. Ayahnya bernama Mohan Lal Lohia seorang pengusaha garmen yang membuka usahanya di Indonesia dan ibunya bernama Kachan Devi Lohia. Keluarga Lohia merupakan keluarga berkecukupan.

Sri Prakash Lohia merupakan lulusan dari Universitas New Delhi dengan gelar Bachelor of Commerce.

Pria yang kerap dipanggil dengan sebutan Prakash ini tidak menghabiskan masa mudanya untuk bersantai-santai, di usianya yang ke-19 Prakash mulai membantu ayahnya dalam berbisnis.

Dari sinilah sejarah kesuksesannya dimulai.

Pada tahun 1974, ayah Prakash memutuskan untuk pindah dari India dan mendirikan pabrik benang untuk tekstil di kota Purwakarta, Indonesia.

Di usianya yang baru menginjak 22 tahun, Prakash sudah mulai terjun ke dunia bisnis membantu ayahnya dalam berbisnis garmen di Indonesia ini. Berbekal investasi awal sebesar US$10 juta, bisnis ini dikembangkan dengan bermodalkan 2000 orang karyawan.

Bagi Prakash, tahun-tahun awal mendirikan perusahaan merupakan bagian terberat.

Namun kegigihan Prakash dan ayahnya bagai tak kenal lelah sehingga menyebabkan angin kesuksesan akhirnya bertiup ke arah mereka.

Pada akhirnya, pria lulusan Bachelor of Arts/Science dari Delhi University itu berhasil mengembangkan bisnisnya dan mulai merambah ke bidang lain.

Tak butuh waktu lama, perusahaan Indorama Ventures yang didirikan oleh Sri Prakash Lohia kemudian berkembang pesat menjadi perusahaan pemasok polyethylene terephthalate (PET) resin terbesar di dunia.

Sri Prakash Lohia merupakan warga negara India yang pindah ke Indonesia pada tahun 1970an. Saat ini kekayaannya mencapai 5,6 Miliar USD

6. Susilo Wonowidjojo

Susilo Wonowidjojo meneruskan warisan orangtuanya. Di tangannya, pabrik rokok yang dikelolanya menjadi perusahaan terkenal dan terbesar di Indonesia. Pengabdianya selama 40 tahun mengantarkannya menjadi orang terkaya ke-2 di negeri ini.

Perjuangannya tak mudah. Susilo Wonowidjojo harus terus melakukan inovasi atas usaha bisnisnya ini yang bernama rokok Gudang Garam. Perusahaan rokok ini adalah hasil karya ayahnya Suryo Wonowidjojo. Sebelum jatuh ke Susilo, perusahaan ini dipegang terlebih dahulu oleh kakaknya Rahman Halim.

Dengan dukungan keluarga, Susilo Wonowidjojo mengambil alih estafet kepemimpinan di PT. Gudang Garam. Susilo sudah dipersiapkan untuk mengelola perusahaan keluarga ini. Dimulai sebagai direktur pada tahun selama 14 tahun, terus naik menjadi vice Presiden Director, hingga President Director PT Gudang Garam. Susilo selalu melakukan terobasan setiap ia menduduki posisi barunya.

Dalam hal produksi, ia membuat gebrakan dengan mengembangkan produk-produk inovatif dan mesin-mesin produksi. Misalnya, pada tahun 1979, ia mengembangkan mesin-mesin khusus untuk memproduksi produk rokok kretek, dan pada 2002, ia membuat inovasi produk baru, rokok kretek mild.

Rokok tersebut diproduksi di Direktorat Produksi Gempol di Pasuruan, Jawa Timur. Pada 2013, ia memperluas area produksi, yang kini memiliki sekitar 208 hektar yang tersebar di kabupaten dan kota Kediri dan di wilayah Pasuruan, Jawa Timur.

Selain dikenal sebagai pekerja keras, pria kelahiran Kediri ini seorang pengusaha yang ramah. Ia sosok yang murah hati kepada saipa saja, baik kelas bawah maupun atas. Selain bersikap ramah, ia juga terkenal sebagai orang yang dermawan. Ia suka membantu orang yang tidak mampu.

Bersama saudara perempuannya Juni Setiawati, Susilo Wonowidjojo memimpin salah satu perusahaan rokok kretek terbesar di Indonesia. Jumlah kekayaannya mencapai 5,3 Miliar USD.

7. Jogi Hendra Atmadja

Jogi Hendra Atmadja merupakan seorang pengusaha sukses di bidang produk makanan ringan dan minuman kemasan. Ia lahir pada tahun 1946 di Ibukota Jakarta. Saat ini ia menjabat sebagai komisaris utama di PT Mayora Indah Tbk atau Mayora Grup.

Setelah menempuh pendidikan sekolah hingga SMA, Jogi Hendra Atmadja kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta. Kampus Trisakti sendiri, merupakan salah satu kampus swasta yang cukup terkenal di Indonesia dengan julukan ‘Kampus Reformasi’.

Setelah berhasil menempuh pendidikan kedokteran di Kampus Trisakti, Jogi Hendra Atmadja lebih tertarik ke dalam dunia bisnis dan usaha. Ia dan kedua rekannya bernama Drs. Raden Soedigdo dan Ir. Darmawan Kurnia, memutuskan untuk menjalankan bisnis bersama dengan mendirikan PT Mayora Indah, pada tanggal 17 Febuari 1977 di kota Jakarta.

PT Mayora yang didirikan saat itu, ialah sebuah perusahaan yang memproduksi berbagai macam makanan ringan sebagai produksi utama. Lokasi pabrik pertama Mayora terletak di daerah Tangerang, Banten. Sejak awal beridirinya Mayora, Jogi sebagai pendiri dan pemilik perusahaan tersebut menjalankan posisi sebagai komisaris utama.

Brand terkenal yang diciptakannya antara lain adalah Biskuit Roma, Kopiko dan Danisa. Perusahaannya kini telah menjual produk permen, biskuit, sereal dan kopi ke lebih dari 90 negara di dunia. Dengan bisnis yang digelutinya, Ia memiliki jumlah kekayaan hingga 4,3 Miliar USD.

8. Boenjamin Setiawan

Boenjamin Setiawan dilahirkan pada tanggal 27 September 1933 di kota Tegal, Jawa Tengah. Ia memulai pendidikannya di SD di Tegal, tamat dari SD, ia kemudian pindah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya di SMP dan SMA.

Lulus SMA, Boenjamin Setiawan kemudian melanjutkan pendidikannya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ia kemudian lulus sebagai dokter pada tahun 1958. Boenjamin Setiawan kemudian melanjutkan pendidikannya keluar negeri.

Universitas yang ia tuju kali ini adalah Universitas of California. Disana ia meraih gelar Ph.D dengan disertasi berjudul The Inhibition of Alcohol Dehydrogonate by Chlor Promazine, an Other Phcnothaizinc Derivatif.

Kembali ke tanah air, dr. Boen mengabdikan diri untuk membagikan ilmunya sebagai dosen. Di tahun 1980, beliau diangkat menjadi Lektor Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Tak cukup berkarier dalam bidang kedokteran, Boenjamin Setiawan atau yang akrab dipanggil dr. Boen ini merambah dunia usaha dengan menjadi seorang pengusaha di bidang farmasi atau obat-obatan.

Dirinya dikenal sebagai pendiri dari PT. Kabel Farma, sebuah perusahaan farmasi terkemuka di Tanah air. Sejak masih muda, dr Boen sudah mendulang banyak pengalaman soal bisnis.

Menjajaki perjalanan bisnisnya, tak selamanya keberhasilan selalu di depan mata.Demikian juga dr. Boenjamin Setiawan yang sempat mengalami kebangkrutan saat ia mencoba bisnis. Kala itu beliau bersama dengan beberapa rekannya berusaha mendirikan PT Farmindo di tahun 1963.

Bangkit dari kegagalan lalu ia bersama dengan keluarganya mencoba mendirikan bisnis sendiri. Ia mendirikan pabrik farmasi yang kemudian diberi nama Kalbe Farma yang dimulai dari garasi rumah.

Bioplasenton atau obat penawar luka merupakan salah satu dari produk pertama buatan Kalbe Farma.

Produk lainnya yang sukses di pasaran antara lain seperti Kalpanax, produk dari OTC yang manjur membasmi penyakit panu.

Kini PT Kalbe Farma merupakan perusahaan farmasi yang sudah berkancah di tanah air sejak masa Orde Baru.

Perusahaan yang dipimpin oleh dr. Boen ini berhasil mencatat pendapat sebesar 14 triliun rupiah.

Dia juga memiliki salah satu jaringan rumah sakit terbesar di Indonesia, Mitra Keluarga. Dengan sumber kekayaan tersebut, Ia bisa memiliki total kekayaan hingga 4,1 Miliar USD.